Kegiatan Perpisahan Kelas VI 2011/2012
Sabtu, 07 Juli 2012
Sabtu, 03 Maret 2012
SHALAT BERJAMAAH BAGI LAKI-LAKI
Banyak dari kita yang
meremehkan shalat berjamaah. Oleh karenanya, melalui tulisan ini akan coba kami
jelaskan mengenai hukum-hukum tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena
sebe-narnya masalah ini adalah masalah yang teramat penting.
Allah SWT banyak
menyebut kata shalat dalam Al-Qur’anul Karim. Ini menandakan begitu penting
perkara ini. Allah SWT berfirman :
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (Al Baqarah : 43)
Ayat mulia ini merupakan nash tentang kewajiban shalat berjamaah.
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (Al Baqarah : 43)
Ayat mulia ini merupakan nash tentang kewajiban shalat berjamaah.
Dan dalam surat An-
Nisa’ Allah berfirman yang artinya :
Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serekat), maka hendaklah mereka dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah me-reka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. (An Nisa’ 102)
Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serekat), maka hendaklah mereka dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah me-reka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. (An Nisa’ 102)
Pada ayat diatas
Allah mewajibkan shalat berjamaah bagi kaum muslimin dalam keadaan perang.
Bagaimana bila dalam keadaan damai? Telah disebutkan diatas bahwa ..dan
hendaklah datang segolongan kedua yang be-lum shalat, lalu bershalatlah
bersamamu.. Ini adalah dalil bahwa shalat berjamaah adalah fardhu
‘ain, bukan fardu kifayah, ataupun sunnah. Jika hukumnya fardhu kifayah,
pastilah gugur kewajiban berjamaah bagi kelompok kedua karena penunaian kelompok
pertama. Dan jika hukumnya adalah sunnah, pastilah alasan yang paling utama
adalah karena takut.
Dan dalam Shahih Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai pe-nuntun yang akan menuntunku ke Masjid. Ma-ka dia minta keringanan untuk shalat dirumah, maka diberi keringanan. Lalu ia pergi, Beliau memanggilnya seraya berkata: Apakah kamu mendengar adzan ? Ya, jawabnya. Nabi berkata : Kalau begitu penuhilah (hadirilah)!
Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai pe-nuntun yang akan menuntunku ke Masjid. Ma-ka dia minta keringanan untuk shalat dirumah, maka diberi keringanan. Lalu ia pergi, Beliau memanggilnya seraya berkata: Apakah kamu mendengar adzan ? Ya, jawabnya. Nabi berkata : Kalau begitu penuhilah (hadirilah)!
Didalam hadits ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam tidak memberikan keringanan kepada
Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu untuk shalat dirumahnya (tidak
berjamaah) kendati ada alasan, diantaranya:
- Keadaan
beliau buta.
- Tidak
adanya penuntun ke Masjid.
- Jauh
rumahnya dari Masjid.
- Adanya
pohon-pohon kurma dan lain-lain yang ada diantara rumah beliau dan Masjid.
- Adanya
binatang buas di Madinah.
- Tua
umurnya dan telah lemah tulang-tulang-nya.
Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu meri-wayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam telah
bersabda:
Aku berniat meme-rintahkan kaum muslimin untuk mendirikan sha-lat. Maka aku perintahkan seorang untuk menjadi imam dan shalat bersama. Kemudian aku berang-kat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka. (Al Bukhari-Muslim)
Aku berniat meme-rintahkan kaum muslimin untuk mendirikan sha-lat. Maka aku perintahkan seorang untuk menjadi imam dan shalat bersama. Kemudian aku berang-kat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka. (Al Bukhari-Muslim)
Hadits diatas telah
menjelaskan bahwa tekad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam untuk membakar
rumah-rumah disebabkan mereka tidak keluar untuk shalat berjamaah di masjid.
Dan masih banyak lagi hadits yang menerangkan peringatan keras Rasulullah
terhadap orang-orang yang tidak hadir ke masjid untuk berjamaah bukan
semata-mata karena mereka meninggalkan shalat, bahkan mereka shalat di
rumah-rumah mereka.
Ibnu Hajar berkata:
Hadits ini telah menerangkan bahwa shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain, karena
kalau shalat berjamaah itu hanya sunnah saja, Rasulullah tidak akan berbuat
keras terhadap orang-orang yang meninggalkannya, dan kalau fardhu kifayah
pastilah telah cukup dengan pekerjaan beliau dan yang bersama beliau.
Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu berkata: Engkau telah melihat kami, tidak seseorang yang
meninggalkan shalat berjamaah, kecuali ia seorang munafik yang diketahui
nifaknya atau seseorang yang sakit, bahkan seorang yang sakitpun berjalan
(dengan dipapah) antara dua orang untuk mendatangi shalat (shalat berjamaah di
masjid). Beliau menegaskan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam
mengajarkan kita jalan-jalan hidayah, dan salah satu jalan hidayah itu adalah
shalat di masjid (shalat yang dikerjakan di masjid).(Shahih Muslim)
Ibnu Mas’ud juga
mengatakan : Barang siapa mau bertemu dengan Allah SWT di hari akhir nanti
dalam keadaan muslim, maka hendaklah memelihara semua shalat yang
diserukan-Nya. Allah SWT telah menetapkan jalan-jalan hidayah kepada para Nabi
dan shalat ter-masuk salah satu jalan hidayah. Jika kalian sha-lat dirumah maka
kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, dan kalian akan sesat. Setiap
Lelaki yang bersuci dengan baik, kemudian menuju masjid, maka Allah SWT menulis
setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajat, dan menghapus satu
kejahatannya. Engkau telah melihat dikalangan kami, tidak pernah ada yang
meninggalkan shalat (berjamaah), kecuali orang munafik yang sudah nyata
nifaknya. Pernah ada seorang lelaki hadir dengan dituntun antara dua orang
untuk didirikan shaf.
Ibnu Mas’ud, Abdullah
bin Abbas dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhum berkata : Barangsiapa
yang mendengar adzan kemudian dia tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak
ada shalat baginya.
Amirul Mukminin Ali
bin Abi Thalib berkata : Tidak ada tetangga masjid kecuali shalat di masjid.
Ketika ditanyakan kepada beliau : Siapa tetangga masjid ? Beliau menjawab :
Siapa saja yang mendengar panggilan adzan. Kemudian kata beliau : Barangsiapa
mendengar panggilan adzan dan dia tidak mendatanginya maka tidak ada shalat
baginya, kecuali dia mempunyai udzur.
Meningggalkan shalat
berjamaah merupakan salah satu penyebab untuk meninggalkan shalat sama sekali.
Dan perlu diketahui bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran, dan keluar dari
islam. Ini berdasar pada sabda Nabi : Batas antara seseorang dengan kekufuran
dan syirik adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim).Janji yang membatasi
antara kita dan orang-orang kafir adalah shalat. Barang siapa meninggalkannya,
maka ia kafir.
Setiap muslim wajib
memelihara shalat pada waktunya, mengerjakan shalat sesuai dengan yang
disyariatkan Allah, dan mengerjakan secara berjamaah di rumah-rumah Allah.
Setiap muslim wajib taat kepada Allah dan rasul-Nya, serta takut akan murka dan
siksanya.
Tidak bisa dipungkiri
shalat berjamaah mempunyai beberapa hikmah serta kemaslahatan. Hikmah yang
tampak adalah :
- Akan timbul
diantara sesama muslim akan saling mengenal dan saling membantu dalam kebaikan,
ketaqwaan, dan saling berwasiat de-ngan kebenaran dan kesabaran.
- Saling memberi
dorongan kepada orang lain yang meninggalkannya, dan memberi penga-jaran kepada
yang tidak tahu.
- Menumbuhkan rasa
tidak-suka/membenci kemunafikan.
- Memperlihatkan
syiar-syiar Allah ditengah-tengah hamba-Nya.
- Sarana dakwah lewat
kata-kata dan perbuatan.
Hadits mengenai
wajibnya shalat berjamaah dan kewajiban melaksanakannya di rumah Allah sangat
banyak Oleh karena itu setiap muslim wajib memperhatikan, dan bersegera
melaksanakannya. Juga wajib memberitahukan hal ini kepada anak-anaknya,
keluarga, tetangga, dan seluruh teman-teman seaqidah agar mereka melaksanakan
perintah Allah SWT dan rasul-Nya dan agar mereka takut terhadap larangan Allah
dan rasul-Nya dan agar mereka menjauhkan diri dari sifat-sifat orang munafik
yang tercela, dianta-ranya malas mengerjakan shalat.
Didownload dari : http://cupy-moslem.blogspot.com
Selesai ditulis di Surabaya, pada 18 Desember 2011
Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi
al-Khalafi
Ditulis ulang oleh Supriyono
Merujuk dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis
Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi,
Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA -
Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September
2007MJumat, 24 Februari 2012
REFLEKSI HARDIKNAS
Reaktualisasi
Ajaran Ki Hajar Dewantara
Oleh: SUDOYO
Bisakah Anda sebutkan satu saja nama tokoh yang mampu menjadi contoh, menjadi suri teladan pada masa sekarang ini? Atau adakah tokoh yang mampu membangkitkan kemauan/prakarsa? Atau yang mampu memberikan dorongan semangat? Adakah tokoh yang bisa “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani?”
Kalau hanya menyebut nama tokoh saja, barangkali cukup banyak untuk kita sebut. Lihatlah betapa banyak nama-nama tokoh di dunia politik, ekonomi, sosial, agama, maupun budaya. Tapi kalau tokoh yang dapat menjadi suri teladan, mampu membangkitkan prakarsa, dan mampu memberikan dorongan semangat, rasanya kita adalah sebuah bangsa yang ‘miskin’ dengan orang-orang seperti itu.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa tokoh-tokoh kita di dunia politik misalnya, adalah tokoh-tokoh yang ‘teguh pendirian’. Tak kan pernah mundur dari jabatan, ‘apapun yang terjadi’. Berbeda dengan Jepang, misalnya. Seorang pejabat publik di Jepang akan sangat malu dan ‘tidak teguh pendirian’ jika kinerjanya tidak baik. Ia bahkan akan segera mengundurkan diri dari jabatannya bila gagal menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Tengok lagi dunia perekonomian kita. Sangat jarang kita dengar ada sebuah perusahaan yang dipimpin oleh seseorang yang sangat memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Yang paling sering kita dengar adalah demo karyawan menuntut kenaikan upah dan perbaikan kesejahteraan. Yang juga sering terjadi adalah penggelapan dana nasabah, pembobolan bank oleh karyawannya sendiri, penggelapan dan manipulasi pajak.
Dunia pendidikan kita tidak kalah ‘hebatnya’. Di sudut daerah mana yang tidak ada tawuran pelajar? Penyalahgunaan obat-obat terlarang? Merokok? Membolos? HP dengan konten porno? Dan tindakan-tindakan lain yang semestinya tidak dilakukan oleh kaum intelektual? Memang tidak semua sisi pendidikan kita berwajah buram. Beberapa pelajar kita, ada juga yang berprestasi di level nasional maupun internasional. Namun itu hanyalah sebagian kecil dari mayoritas pelajar kita.
Momentum Hari Pendidikan Nasional tahun ini barangkali bisa kita manfaatkan untuk introspeksi diri dan ‘menengok ke dalam’ dunia pendidikan kita. Selama ini mungkin kita terlalu berbangga dengan teori-teori pendidikan dari luar. Padahal di negeri sendiri ada ‘mutiara terpendam’. Ataukah sengaja ‘dipendam’ karena kita inferior? Minder dengan yang kita miliki? Bila memang demikian, jangan heran bila kita akhirnya tercabut dari jati diri kita sendiri. Padahal 89 tahun yang lalu Ki Hajar Dewantara telah mencetuskan dasar-dasar pendidikan bagi bangsa kita. Sebuah ajaran yang penuh kearifan lokal. Bahkan menurut Asip Suryadi, Ki Hajar Dewantara adalah tokoh yang telah menancapkan pilar-pilar pendidikan nasional yang dapat menopang bangunan pendidikan yang berkebangsaan dan bermartabat. Dan seandainya sejak awal kita menegakkan pilar-pilar tersebut, niscaya pendidikan kita akan lebih baik daripada sekarang.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional
Pada masa kecil, Ki Hajar Dewantara bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Beliau lahir pada tanggal 2 Mei 1889. Lahir dari keluarga di lingkungan keraton tidak membuat Raden Mas Suwardi Suryaningrat tinggi hati. Bahkan demi mendekatkan diri dengan rakyat, beliau rela melepaskan gelar kebangsawanan dan nama aslinya. Bergantilah nama beliau menjadi Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Europese Lagere School), Sekolah Dasar Belanda. Beliau sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputra), meskipun tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian Ki Hajar Dewantara bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Tahun 1908 beliau aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Pada tanggal 25 Desember 1912, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, beliau mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) yang bertujuan mewujudkan Indonesia merdeka.
Konsistensinya dalam perjuangan nasional dan mencerdaskan bangsa menjadikan beliau diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia yang pertama pascakemerdekaan 17 Agustus 1945. Sesuai dengan surat keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959 tanggal 28 November 1959, Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional dan Bapak Pendidikan Nasional. Tanggal kelahiran beliau, 2 Mei, diabadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hajar Dewantara
Kembali pada Ajaran Ki Hajar Dewantara
Nama besar Ki Hajar Dewantara tidak lepas dari ajarannya yang mulia, yaitu “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani”. Menurut beliau, seorang pemimpin, khususnya para pendidik (guru), hendaknya memiliki ketiga sifat dalam ajaran tersebut.
Ing ngarsa berarti di depan/di muka. Sung tuladha artinya memberikan suri teladan. Sehingga ‘Ing ngarsa sung tuladha’ mengandung arti bahwa seorang pemimpin, khususnya pendidik, harus mampu memberikan suri teladan bagi anak didiknya. Pemimpin atau pendidik harus memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam segala langkah dan tindakan agar dapat menjadi panutan bagi anak buah/anak didiknya.
Ing madya memiliki arti di tengah-tengah. Mangun karsa berarti membangkitkan/menggugah kemauan atau menjadi dinamisator. Ing madya mangun karsa dapat dimaknai bahwa seorang pemimpin/pendidik harus dapat membangkitkan kemauan atau menjadi dinamisator di tengah-tengah anak buahnya/anak didiknya.
Tutwuri artinya mengikuti dari belakang. Handayani berarti memberikan dorongan semangat. Tutwuri handayani diartikan bahwa seorang pemimpin/pendidik harus dapat memberikan dorongan semangat bagi anak buah/anak didiknya dari belakang.
Ajaran di atas lebih sering diinterpretasikan secara terbatas dalam kaitannya dengan fungsi guru sebagai teladan, dinamisator, dan motivator. Padahal ajaran tersebut memiliki makna lebih dalam dari itu semua. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani, menggambarkan pentingnya partisipasi semua lini masyarakat dalam proses pendidikan. Ini sebenarnya adalah sebuah ajaran yang menjadi landasan untuk membangun learning society.
Membaca gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantara bagaikan membersihkan kotoran-kotoran yang dibawa oleh hembusan badai modernisme barat berupa debu-debu hitam materialisme, positivisme, rasionalisme, mekanisme, dan hedonisme.
Ki Hajar Dewantara, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa, yaitu cipta, karsa, dan rasa. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja, akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Pendidikan kita sampai saat ini ternyata hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika hal ini berlanjut, maka akan terbentuklah manusia yang kurang humanis atau manusiawi.
Taman Siswa sebagai sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara memiliki tujuan membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka. Merdeka secara fisik, mental, maupun rokhaninya. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama. Hal ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab, dan disiplin. Taman Siswa juga didirikan dengan maksud membangun budaya sendiri, jalan hidup sendiri, dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.
Peserta didik yang ingin dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among, yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah, dan asuh (care and dedication based on love). Manusia merdeka yang dimaksud adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan orang lain.
Rasanya sangat perlu untuk direnungkan bahwa prinsip-prinsip ajaran Ki Hajar Dewantara yang sangat luhur ini adalah alternatif solusi yang baik untuk permasalahan pendidikan kita saat ini.
Bagi bangsa kita, kembali ke ajaran Ki Hajar Dewantara bisa berarti menemukan solusi untuk menyelesaikan penyakit kronis pendidikan nasional (Suryadi, 2009: 57). Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani, pantaslah untuk kita resapi maknanya dan kita aplikasikan dalam tugas kita, para pendidik khususnya. Jangan sampai yang kita jalani justru “ING NGARSA SONTOLOYO, ING MADYA NAMUNG ARTA, TUTWURI MBEBAYANI”.
Langganan:
Postingan (Atom)