Jumat, 24 Februari 2012

REFLEKSI HARDIKNAS

Reaktualisasi
Ajaran Ki Hajar Dewantara

Oleh: SUDOYO
                                                                  

            Bisakah Anda sebutkan satu saja nama tokoh yang mampu menjadi contoh, menjadi suri teladan pada masa sekarang ini? Atau adakah tokoh yang mampu membangkitkan kemauan/prakarsa? Atau yang mampu memberikan dorongan semangat? Adakah tokoh yang bisa “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani?
            Kalau hanya menyebut nama tokoh saja, barangkali cukup banyak untuk kita sebut. Lihatlah betapa banyak nama-nama tokoh di dunia politik, ekonomi, sosial, agama, maupun budaya. Tapi kalau tokoh yang dapat menjadi suri teladan, mampu membangkitkan prakarsa, dan mampu memberikan dorongan semangat, rasanya kita adalah sebuah bangsa yang ‘miskin’ dengan orang-orang seperti itu.
            Sudah bukan rahasia lagi bahwa tokoh-tokoh kita di dunia politik misalnya, adalah tokoh-tokoh yang ‘teguh pendirian’. Tak kan pernah mundur dari jabatan, ‘apapun yang terjadi’. Berbeda dengan Jepang, misalnya. Seorang pejabat publik di Jepang akan sangat malu dan ‘tidak teguh pendirian’ jika kinerjanya tidak baik. Ia bahkan akan segera mengundurkan diri dari jabatannya bila gagal menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
            Tengok lagi dunia perekonomian kita. Sangat jarang kita dengar ada sebuah perusahaan yang dipimpin oleh seseorang yang sangat memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Yang paling sering kita dengar adalah demo karyawan menuntut kenaikan upah dan perbaikan kesejahteraan. Yang juga sering terjadi adalah penggelapan dana nasabah, pembobolan bank oleh karyawannya sendiri, penggelapan dan manipulasi pajak.
            Dunia pendidikan kita tidak kalah ‘hebatnya’. Di sudut daerah mana yang tidak ada tawuran pelajar? Penyalahgunaan obat-obat terlarang? Merokok? Membolos? HP dengan konten porno? Dan tindakan-tindakan lain yang semestinya tidak dilakukan oleh kaum intelektual? Memang tidak semua sisi pendidikan kita berwajah buram. Beberapa pelajar kita, ada juga yang berprestasi di level nasional maupun internasional. Namun itu hanyalah sebagian kecil dari mayoritas pelajar kita.
            Momentum Hari Pendidikan Nasional tahun ini barangkali bisa kita manfaatkan untuk introspeksi diri dan ‘menengok ke dalam’ dunia pendidikan kita. Selama ini mungkin kita terlalu berbangga dengan teori-teori pendidikan dari luar. Padahal di negeri sendiri ada ‘mutiara terpendam’. Ataukah sengaja ‘dipendam’ karena kita inferior? Minder dengan yang kita miliki? Bila memang demikian, jangan heran bila kita akhirnya tercabut dari jati diri kita sendiri. Padahal 89 tahun yang lalu Ki Hajar Dewantara telah mencetuskan dasar-dasar pendidikan bagi bangsa kita. Sebuah ajaran yang penuh kearifan lokal. Bahkan menurut Asip Suryadi, Ki Hajar Dewantara adalah tokoh yang telah menancapkan pilar-pilar pendidikan nasional yang dapat menopang bangunan pendidikan yang berkebangsaan dan bermartabat. Dan seandainya sejak awal kita menegakkan pilar-pilar tersebut, niscaya pendidikan kita akan lebih baik daripada sekarang.

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional

            Pada masa kecil, Ki Hajar Dewantara bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Beliau lahir pada tanggal 2 Mei 1889. Lahir dari keluarga di lingkungan keraton tidak membuat Raden Mas Suwardi Suryaningrat tinggi hati. Bahkan demi mendekatkan diri dengan rakyat, beliau rela melepaskan gelar kebangsawanan dan nama aslinya. Bergantilah nama beliau menjadi Ki Hajar Dewantara.
            Ki Hajar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Europese Lagere School), Sekolah Dasar Belanda. Beliau sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputra), meskipun tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian Ki Hajar Dewantara bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
            Tahun 1908 beliau aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
            Pada tanggal 25 Desember 1912, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, beliau mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) yang bertujuan mewujudkan Indonesia merdeka.
            Konsistensinya dalam perjuangan nasional dan mencerdaskan bangsa menjadikan beliau diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia yang pertama pascakemerdekaan 17 Agustus 1945. Sesuai dengan surat keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959 tanggal 28 November 1959, Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional dan Bapak Pendidikan Nasional. Tanggal kelahiran beliau, 2 Mei, diabadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Ki Hajar Dewantara
Kembali pada Ajaran Ki Hajar Dewantara

            Nama besar Ki Hajar Dewantara tidak lepas dari ajarannya yang mulia, yaitu “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani”. Menurut beliau, seorang pemimpin, khususnya para pendidik (guru), hendaknya memiliki ketiga sifat dalam ajaran tersebut.
            Ing ngarsa berarti di depan/di muka. Sung tuladha artinya memberikan suri teladan. Sehingga ‘Ing ngarsa sung tuladha  mengandung arti bahwa seorang pemimpin, khususnya pendidik, harus mampu memberikan suri teladan bagi anak didiknya. Pemimpin atau pendidik harus memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam segala langkah dan tindakan agar dapat menjadi panutan bagi anak buah/anak didiknya.
            Ing madya memiliki arti di tengah-tengah. Mangun karsa berarti membangkitkan/menggugah kemauan atau menjadi dinamisator. Ing madya mangun karsa dapat dimaknai bahwa seorang pemimpin/pendidik harus dapat membangkitkan kemauan atau menjadi dinamisator di tengah-tengah anak buahnya/anak didiknya.
            Tutwuri artinya mengikuti dari belakang. Handayani berarti memberikan dorongan semangat. Tutwuri handayani diartikan bahwa seorang pemimpin/pendidik harus dapat memberikan dorongan semangat bagi anak buah/anak didiknya dari belakang.
            Ajaran di atas lebih sering diinterpretasikan secara terbatas dalam kaitannya dengan fungsi guru sebagai teladan, dinamisator, dan motivator. Padahal ajaran tersebut memiliki makna lebih dalam dari itu semua. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani, menggambarkan pentingnya partisipasi semua lini masyarakat dalam proses pendidikan. Ini sebenarnya adalah sebuah ajaran yang menjadi landasan untuk membangun learning society.
            Membaca gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantara bagaikan membersihkan kotoran-kotoran yang dibawa oleh hembusan badai modernisme barat berupa debu-debu hitam materialisme, positivisme, rasionalisme, mekanisme, dan hedonisme.
            Ki Hajar Dewantara, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa, yaitu cipta, karsa, dan rasa. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja, akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Pendidikan kita sampai saat ini ternyata hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika hal ini berlanjut, maka akan terbentuklah manusia yang kurang humanis atau manusiawi.
            Taman Siswa sebagai sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara memiliki tujuan membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka. Merdeka secara fisik, mental, maupun rokhaninya. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama. Hal ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab, dan disiplin. Taman Siswa juga didirikan dengan maksud membangun budaya sendiri, jalan hidup sendiri, dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.
            Peserta didik yang ingin dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among, yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah, dan asuh (care and dedication based on love). Manusia merdeka yang dimaksud adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan orang lain.
            Rasanya sangat perlu untuk direnungkan bahwa prinsip-prinsip ajaran Ki Hajar Dewantara yang sangat luhur ini adalah alternatif solusi yang baik untuk permasalahan pendidikan kita saat ini.
            Bagi bangsa kita, kembali ke ajaran Ki Hajar Dewantara bisa berarti menemukan solusi untuk menyelesaikan penyakit kronis pendidikan nasional (Suryadi, 2009: 57). Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani, pantaslah untuk kita resapi maknanya dan kita aplikasikan dalam tugas kita, para pendidik khususnya. Jangan sampai yang kita jalani justru “ING NGARSA SONTOLOYO, ING MADYA NAMUNG ARTA, TUTWURI MBEBAYANI”.